djokothole

stand alone

13 July 2009

cerpen dari tahun 2001 (bagian 1)

pernah juga ternyata menulis cerpen, dan ini saya temukan dari tumpukan cd backup dari komputer dulu

he he .. aneh juga lihat cerpen karangan sendiri

KRIIING ...

Kriiiing ...
Meloncat dari ranjang, berdiri, meraih gagang telpon, menempelkannya di sisi muka dan mengucapkan kata “hallo”. Semuanya dalam satu tarikan napas. Semua begitu spontan. Padahal sembari menarikan bibir untuk mengucapkan kata sapaan itu, masih terasa kakunya pipi ini. ada enzim-enzim kasar yang membuat gigiku terasa tebal. Mungkin itu juga yang membuat artikulasi di mulutku agak berbeda dari biasanya. Sehingga suaraku terdengar lain. Biarlah, tugasku sudah selesai dan aku tinggal menunggu jawabannya.

Sejenak hening, tidak betul-betul hening sih. Tapi cukup hening lah. Karena semestinya aku mendengar jawaban dari ujung sana. Setidaknya, kebiasaan orang menelepon selalu bermain gema di awal pembicaraan. ‘Hallo’ dibalas dengan ‘hallo’, ‘selamat siang’ dibalas dengan ‘selamat siang’. Pokoknya bermain gema deh. Tapi ada satu yang tidak bergema persis seperti ucapan sebelumnya, ‘assalamualaikum’ biasanya dijawab dengan ‘wa alaikum salam’. Tetapi penelepon yang satu ini diam saja. Masak sih, dia tidak tahu permainan ini. Entah dia sudah merasa terlalu tua untuk bermain-main. Tapi walaupun membosankan, orang selalu memainkan ini koq, bahkan dalam suasana serius dan formal sekalipun. Coba saja anda hubungi kantor bank, pegawainya pasti mau diajak main gema seperti ini. tapi bukan kantor bank yang menyediakan mesin untuk menjawab telepon lho. Yang jelas saapanku tidak bergema. Atau suaraku tidak terdengar? Mungkin sebaiknya kuulangi permainan ini.
“Hallo ...”. Aku ulangi sekali lagi. Dan telinga ini masih menangkap suara aneh dari mulutku. Tidak seperti suaraku biasanya. Atau mungkin karena telingaku tersumbat oleh gagang telepon yang kutekan erat-erat ke sisi wajahku. Aku jadi semakin penasaran, ini memang belum dijawab atau aku yang masih belum sadar? Koq telingaku tidak mendengar jawaban, telingaku malah menangkap ada suara denging yang lirih.
Bisa sangat kupastikan, suara denging ini bukan suara denging buatannya kantor telepon. Denging ini tidak seperti yang biasa aku dengar jika aku sedang iseng mengangkat telepon dan mendengarkan suaranya. Aku beberapa kali melakukan itu dan berharap siapa tahu ada percakapan rahasia di ujung sana tetapi tidak pernah ada. Denging yang kudengar kali ini begitu lirih.
Ah, aku tahu, ini suara angin yang berdesir. Berarti ada yang mengangkat telepon di sana tetapi tidak mau bicara. Mungkin juga orang di ujung sana sedang kebingungan mengapa ada suara yang tidak dikenalnya. Berarti dia belum mengenalku betul, karena jika dia benar-benar mengenalku harusnya tahu dong, ini suaraku jika aku baru bangun tidur.
Jangan-jangan yang menelepon adalah Pak Supeno. Refleks kulihat ke arah jam dinding. 06.30. masih pagi. Jamnya pun normal koq, jarum panjang yang kurus masih bergerak putus-putus berputar di arah yang normal pula. Pasti bukan Pak Supeno. Saat ini paling-paling dia juga masih berbaring bermalas-malasan di ranjang spring bed-nya. Mungkin sambil memilin-milin tali kain putih yang disimpul di dekat pusarnya supaya celananya tidak melorot. Lagipula untuk apa dia meneleponku. Walaupun dia atasanku langsung di kantor, tidak mungkin dia langsung meneleponku. Kan ada sekretarisnya. Apalagi aku kan belum pernah terlambat – Itu pun jika panggilan telepon ini ini karena keterlambatan masuk kerja. Tapi, masak sih langsung ditelepon untuk keterlambatan yang pertama kali. Aku semakin yakin, pasti bukan Pak Supeno. Dan keyakinan ini menenangkanku, karena yang menelepon di seberang sana kemungkinan besar bukan orang penting. Bahkan keyakinanku mengatakan yang menelepon ini bukanlah orang lebih tua dari aku. Mungkin salah satu temanku.

(bersambung)

0 comments: