djokothole

stand alone

23 July 2009

cerpen dari tahun 2001 (bagian 2) - tamat

Mulutku sudah akan menganga untuk menyapa lagi. Sebenarnya bukan menyapa, tetapi lebih tepatnya menegur. Dua ‘hallo’ yang pertama tadi sih memang menyapa. Tapi kalau orang di ujung sana diam saja, ya sudah keterlaluan.

Padahal sudah dua kali diramahi dengan sapaan tulus, walaupun tetap terdengar berat, itu kan karena gigiku yang menebal sehingga harus bergesekan lebih kuat dengan bibir keringku. Hargai dong usahaku untuk menyapa ini. Jadi aku pikir lebih baik kutegur saja, walaupun tidak terpikir aku harus menegur bagaimana? Paling kutegur dengan sapaan yang sama. ‘hallo’ yang sama. Tapi dia yang di ujung sana tahu tidak ya, kalau aku sedang menegurnya. Kalau tidak mengerti ya percuma dong, nanti dia diam lagi, karena mungkin sebenarnya dia tidak mau disapa. Maunya ditegur. Tapi bagaimana menegurnya?
“Eherm”. Lho koq yang keluar deheman. Serak berdahak lagi. Wah memalukan saja. Deheman kan tidak terasa wibawanya. Kalau berdehem sambil memilin kumis yang baplang atau sambil melotot mungkin bisa terlihat berwibawa. Itu pun terlihat, dan bukannya terasa. Sedangkan sekarang, orang yang ada di ujung saluran telepon yang satunya itu kan tidak melihat aku. Mana mungkin dia merasakan kewibawaan dehemanku. Jangan-jangan sekarang dia sedang tertawa. Tertawa yang tidak bersuara itu lho, tapi akan terlihat menyebalkan karena tertawa seperti itu biasanya dipadukan dengan gerakan memegang perut, membungkuk-bungkukkan badan bahkan kadang disertai bibir yang monyong. Tapi mungkin juga dia sedang terkaget karena dehemanku. Karena siapa tahu dia mendengarkan dehemanku sambil membayangkan bahwa orang yang berdehem itu sedang memainkan ujung kumisnya. Tapi kalau begitu berarti dia bukan orang yang mengenal betul aku dong. Kalau memang berniat meneleponku karena mengenalku tidak mungkin dong membayangkan aku seperti itu. Aku kan tidak berkumis. Yah, mudah-mudahan dia membayangkan aku sedang melotot saja, masih cukup terasa wibawanya koq. Semua orang bisa melotot, asal matanya normal. Dan kalau dia memang mengenalku semestinya dia tahu aku bermata normal. Dan mataku yang melotot akan cukup seram, walaupun baru bangun tidur sekalipun.
Terlepas dari berwibawa atau tidak. Dehemku barusan memang bukan untuk menegurnya koq. Tadinya, ya seperti itu tadi, aku mau menegur dengan sapaan. Tapi rupanya tenggorokan ini tidak mau diajak kompromi. Dua kali sapaan yang tadi ternyata mengeringkan tenggorokanku. Maklum dong, bangun tidur belum sempat minum dulu, langsung saja menyambar gagang telepon. Jadi dehemku barusan adalah reaksi keringnya tenggorokanku yang mungkin terstimulus oleh kondisi mulutku yang sedang menganga dan terhembus oleh kipas angin di depanku. Deheman tidak sengaja.
Namun ada yang penting dari dehemanku. Karena begitu berdehem tiba-tiba suara denging lirih itu menghilang. Dan sayup-sayup desir angin yang tadi kudengar menjadi lebih nyata. Suara itu memang suara desir angin tapi bukan dari seberang sana, itu memang suara angin yang dihembuskan oleh kipas anginku. Rupanya telingaku tersumbat tadi, persis seperti jika kita pergi dari jakarta ke bandung naik bis melalui puncak. Seperti dibekap bantal. Sekarang semua jadi terdengar lebih jelas, apalagi denging lirih yang tadi betul-betul hilang.
Wah, jangan-jangan karena telingaku tersumbat tadi aku jadi tidak bisa mendengar dengan jelas. Mungkin saja tadi dia yang ada di ujung sana sudah membalas sapaku dan aku tidak mendengarnya. Wah ternyata bermain gema pun banyak syaratnya, yang pasti sih pendengaran harus sedang awas pula. Gagal deh permainan gema kali ini karena kalau salah satunya tidak mendengar kan percuma. Bisa jadi oragnya malah jadi marah. Waduh kenapa jadi begini ya?
Mulutku mulai menganga lagi. Harus kuulangi lagi sapaan tadi. untung aku belum menegurnya. Coba bayangkan jika dia sudah menjawab sapaku. Aku akan terlihat bodoh kan? Jika kusapa lagi mungkin saja dia akan berpikir sambungan teleponnya yang buruk sampai-sampai suaranya tidak terdengar. Wajar kan? Tapi jika kutegur pun sebetulnya tidak apa-apa juga dong, karena mungkin dia akan berpikir juga bahwa sambungan teleponnya memang buruk, sampai orang yang ditelepon menegur. Ah ... apapun lah, yang penting aku harus mengucapkan sesuatu lagi. Sapaan atau teguran. Sapaan saja lah, supaya lebih enak terdengar. Boros juga sebetulnya, tiga ‘hallo’ dalam beberapa detik.
“Hal ...”. belum selesai kuucapkan sapaanku kali ini, tiba-tiba terdengar suara tut pendek dan diikuti tut panjang. Sambungan terputus. Aku tahu pasti, karena tut panjang ini adalah denging yang biasa aku dengar jika mengangkat telepon yang belum tersambung.
Aku terpaku. Sedikit keras aku hempaskan pantatku di ranjang. Kemudian perlahan aku jauhkan gagang telepon dari sisi wajahku untuk meletakkannya di badan telepon. Saat kujauhkan dari wajahku itu gagang telepon itu masih memperdengarkan suara denging yang semakin menjauh hingga akhirnya terdengar suara ‘trek’. Kututup telepon itu.
Langsung terasa lagi lemasnya tubuhku. Rasa melayang, seperti yang biasa dirasakan oleh orang yang baru bangun tidur kembali menyergapku. Sedikit terpekur aku coba menghayati apa yang baru saja terjadi. Aku menepis bayangan bahwa aku bermimpi mendengar suara dering telepon yang kemudian membangunkanku. Yang jelas bahwa tadi suara dering telepon, itu dapat aku sadari dengan pasti. Bunyi wekerku berbeda dengan bunyi dering telepon. Lagipula pasti langsung tut panjang yang kudengar jika tadi bukan bunyi dering telepon. Baiklah, itu pasti suara dering telepon.
Lalu siapa yang menelepon? Tadi aku sudah yakin bahwa itu bukan Pak Supeno. Lalu siapa ya? Wah kemungkinannya bisa banyak sekali dong. Bisa teman sekerjaku, bisa teman lamaku, bisa adikku, bisa orang tuaku. Wah, pokoknya kemungkinannya bisa banyak sekali.
Menelusuri peristiwanya pun tidak cukup membantu, mungkin orang tadi menelepon dari handphone, yang baterainya sudah hampir habis, atau sinyalnya lemah. Mungkin juga dari wartel yang prosedur penggunaannya agak rumit, harus menekan satu tombol tertentu saat tersambung, mungkin juga persediaan uang receh orang yang menelepon tadi kurang sehingga tidak cukup untuk menyambungkan hubungan telepon tadi, tetapi tidak akan terputus dong selama aku tidak memutuskan hubungan. Atau mungkin juga dari telepon umum yang rusak. Entahlah, yang jelas bukan aku yang memutuskan sambungan telepon tadi. akhirnya aku berhenti berpikir tentang telepon tadi.
Aku memandang sekeliling kamar kontrakanku. Masih gelap, karena semua gordyn-nya masih belum kubuka. Seperti hari senin-hari senin yang lalu, aku selalu merasa malas sekali bangun pagi-pagi. Sepertinya jiwaku masih tertinggal di tanggal sebelumnya. Aku pikir mungkin tubuhku masih ingin istirahat. Libur dua hari kan tidak cukup membayar kepenatan lima hari bekerja. Sambil merentangkan tanganku aku rebahkan kembali tubuhku kebelakang. Tiba-tiba mata ini menjadi berat lagi. Aku pikir tidak salah sedikit memejamkan mata, toh tidak akan lama, karena posisi kakiku yang masih menjuntai si sisi ranjang tidak akan membuatku tidur pulas. Ah ... merebahkan tubuh seperti ini memang nikmat. Posisi horisontal dengan perasaan relaks untuk beberapa saat akan membantuku siap menghadapi lima hari kerja di depan. Sambil terpejam aku coba melepaskan ingatan tentang telepon tadi. tidur sejenak tidak ada salahnya, pikirku. Perasaanku betapa nyamannya, hingga kemudian terusik oleh suara ... kriiiing ... !!

1 comments:

Terima kasih untuk blog yang menarik